Setelah sekian lama ga sempet update blog ini karena waktu tersita tuk ngeblog dibeberapa blog lainnya dan beberapa halaman maupun grup sebagai admin tuk kesempatan kali ini kita share tentang Idul Fitri dan tradisi pulang kampung alias MUDIK.
Kita melihat banyak orang rela berdesak-desakan di terminal, stasiun, bandara, atau bagi saudara kita yang menggunakan kendaraan mobil, sepeda motor bahkan ada yang menggunakan sepeda ontel (tadi pagi ada informasi dari salah satu televisi swasta pemudik yang menggunakan sepeda ontel yang bertujuan ke jawa barat dan yogyakarta tepatnya ke wonosari-gunungkidul) mereka rela bermotor-motoran bahkan berontel-ontelan jarak jauh, dengan mengeluarkan banyak uang dan tenaga untuk mensukseskan aktifitas pulang kampung. Sungguh hambar jika hanya dilakukan karena sekadar adat dan ikut-ikutan, apalagi karena hanya ingin nostalgia wisata kuliner khas pedesaan. Begitu pula jika dilakukan untuk pamer kesuksesan dan kesombongan, jumlah harta dan jumlah anak istri.
Ini sama persis dengan ungkapan Alquran : " Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak " (QS Al-Hadid 20).Karenanya, hakikat mudik harus kita hayati sepenuhnya bahwa ia adalah sarana kita untuk silaturahmi dalam arti sebenarnya: yaitu menyambung hubungan kekerabatan secara umum, dan secara khusus ajang birrul walidain kepada orang tua.
Kita semua menyadari bahwa aktifitas setahun penuh terkadang menjadikan kita tidak terlampau optimal dalam menjalankan hal ini (silaturahim dan birrul walidain). Sehingga, momentum lebaran dan mudik hendaknya kita niatkan sejak awal sebagai agenda birrul walidain dan silaturrahim kerabat yang efektif.
Dengan niatan ini, insya Allah terbuka seluruh janji kebaikan yang diisyaratkan Rasulullah SAW : "Barangsiapa yang suka dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturahim." (HR Tirmidzi dan Ahmad), Mudik secara khusus adalah birrul walidain kepada orang tua, memohon keridhoannya khususnya setelah kita membersihkan diri di bulan suci. Apalah arti bersih diri jika orang tua kita masih memendam benci dan belum sepenuh hati meridhoi kita?
Sementara Rasulullah SAW bersabda : "Keridhoan Tuhan ada pada Ridho orang tua, dan kemurkaan Tuhan ada pada murka orang tua" (HR Tirmidzi dari Ibnu Umar). Tradisi ini, memang khas Indonesia. Setiap lebaran ungkapan maaf lahir bathin diobral dimana-mana. Sungguh ini adalah sesuatu yang indah berkesan jika dilakukan dengan sepenuh keyakinan akan hina dan kesalahan diri. Sebaliknya, ia tak lebih dari lipatan lidah tak bertulang jika hanya sekedar basa basi dan menuruti tradisi.
Karenanya, apa sesungguhnya niatan yang bisa kita munculkan atau menjadi inspirasi pendahulu kita dalam mentradisikan hal ini?
Setidaknya ada dua hal:
Pertama : karena menjadi simbol dan ciri orang bertakwa. Bulan Ramadan dengan ibadah puasanya dimaksudkan untuk meningkatkan ketakwaan kita. Maka menjadi sangat wajar jika selesai Ramadan kita harus mengimplementasikan semangat dan ciri ketakwaan. Salah satunya yaitu menjadi insan yang pemaaf dan mau menahan amarah. Allah SWT berfirman dalam Alquran yang mulia : dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. (QS Ali Imron 134)
Kedua : keinginan diri untuk bersih dari dosa secara sempurna. Dosa kita senantiasa terbagi menjadi dua, dosa kepada syariat atau Allah SWT, dan dosa kepada sesama manusia.
Kita semua berhusnudhon bahwa Ramadan *sebagaimana yang dijanjikan* akan menggugurkan dosa-dosa kita kepada Allah SWT. Karenanya, untuk mengoptimalkan kesucian diri kita harus meminta keridhoan orang-orang disekitar kita. Karena dosa kepada manusia menjadi tidak terampuni tanpa keridhoan orang yang kita zhalimi. Pada titik inilah, sesungguhnya permintaan maaf harus dilaksanakan dengan sepenuh penghayatan, dan juga harus fokus tertuju kepada orang-orang yang memang senantiasa berinteraksi dengan kita, bukan kenalan biasa atau kenalan dunia maya yang nyaris tak pernah bertemu muka !. Kepada mereka yang belum kita kenal, cukuplah ucapan taqobbalallahu minna waminkum menghiasi lisan dan menghujam dalam hati kita.
Dalam suasana mudik ke kampung halaman yang dilengkapi dengan perasaan suka cita yang membahana. Saya ingin mengajak kita semua untuk menyisakan atau untuk melengkapi suka cita dan keceriaan kita di hari besar ini dengan sebuah perenungan. Renungan itu adalah bukankah tradisi mudik lebaran ini memberikan pesan mudik yang sesungguhnya kepada kita bahwa kita akan mudik ke hadirat Ilahi? Inilah iktibar penting dari perjalanan mudik lebaran yang kita laksanakan yang menjadi signigikansi dari tulisan ini.
Menurut data yang dilansir Departemen Perhubungan, bahwa jutaan orang dinegeri ini melakukan mudik lebaran setiap tahunnya. Dari data ini dapat dibayangkan kemeriahan mobilisasi massa menjelang dan pasca lebaran. Kalau dipandang dari sudut transformasi sosial dan budaya, betapa spektakulernya arus mudik yang terjadi setiap tahun.
Umar Kayam (1993) mengatakan bahwa mudik lebaran sebagai "suatu ritus yang tidak jelas, apakah ia suatu keajaiban fenomena agama, fenomena sosial atau fenomena budaya. Sebab, kalau dipandang sepintas dari perspektif agama, mudik dilakukan oleh orang yang taat beragama maupun tidak taat beragama. Dilihat dari perspektif sosial, simbolisme mudik tidak dapat dipisahkan dari nuansa religion (idul fitri) atau mudik memiliki makna yang identik dengan lebaran.
Begitu juga bila dilihat dari pendekatan budaya, justru mudik ada juga dikarenakan ingin memperlihatkan prestise yang dimilikinya, yaitu berupa harta yang telah diperoleh semenjak meninggalkan kampung halaman. Terlepas dari perspektif mana mudik itu ditinjau, yang jelas mudik merupakan kebiasaan yang sudah mengakar dalam kehidupan kita. Mudik menyimpan segudang ekspresi kebahagiaan yang dapat direfleksikan para pemudik. Bagi seorang suami, mudik merupakan kesempatan untuk melepas kerinduan kepada anak dan istri. Bagi seorang anak yang pergi merantau, mudik merupakan kesempatan untuk bertemu orang tua.
Begitulah berartinya mudik itu, dan yang pasti siapa saja yang bisa mudik ke kempung halaman, apalagi membawa segudang keberhasilan dapat dipastikan akan bahagia. Konkritnya, tidak ada nuansa mudik yang tidak diekspresikan dengan suka cita, walaupun keberhasilan yang diperoleh di kampung orang lain hanya sedikit.
Tradisi mudik ini sesungguhnya memberikan iktibar kepada kita bahwa jika didunia ini saja kita telah melakukan perjalanan mudik sebagai "simulasi" prosesi mudik yang sebenarnya nanti. Mudik di dunia tentunya masih dibatasi dengan kondisi keuangan dan transportasi yang memungkinkan. Berapa banyak orang yang tidak jadi mudik dikarenakan faktor material, ketidakmampuan membeli tiket dan keterbatasan ketersediaan sarana transportasi. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar